Kerajaan Inggris pernah menjadi kekaisaran yang berkuasa. Namun, kini pernyataan itu lebih bernada mirip budak kolonial. Tindakan para pejabat Pemerintah Inggris memperlihatkan niat pemerintah telah hancur lebur di depan serangan teroris dan ideologis berbagai kekuatan Islam politik. Ideologi itu tersebar luas, di antaranya, oleh Persaudaraan Muslim, demikian menurut sebuah laporan penting yang berasal justru dari Pemerintah Inggris sendiri. Sejumlah kelompok garis depan Persaudaraan Muslim telah teridentifikasi sedemikian rupa oleh berbagai laporan pemerintah seperti yang terjadi di Uni Emirat Arab. Termasuk di dalamnya, Cordoba Foundation (Yayasan Cordoba) yang berbasis di Kerajaan Inggris, Asosiasi Muslim Inggris serta Lembaga Pemulihan Islam Inggris. Ketiga organisasi itu semuanya terdaftar sebagai organisasi terroris di Uni Emirat Arab.
Para pejabat itu sudah tunduk kepada cita-cita kaum Islam radikal, termasuk Perdana Menteri (P.M.) May, yang sebelumnya menteri dalam negeri yang bertanggung jawab dalam urusan kepolisian, imigrasi serta aktivitas intelijen. Dengan menjadi menteri dalam negeri sejak 12 Mei 2010 sampai 13 Juli 2016, May tidak bisa berdalih dia tidak menyadari berbagai persoalan internal Inggris. Dia juga menteri dalam negeri ketika Laporan Jay seputar pemerkosaan massal terhadap para gadis di Rotherham terungkap kepada publik.
Persoalan menjadi begitu berkembang luas. Dengan demikian, sekarang bisa ditanyakan apakah Pemerintah Inggris terperangkap dalam jebakan kerangka berpikir kolonial. Dengan kata lain, Inggris kini tampaknya mengalami status dzimmi: yaitu orang yang berdiam di kawasan-kawasan taklukan kaum Islam radikal dan karena tunduk dibiarkan untuk mempertahankan agama asli mereka. Pemerintah Inggris tampaknya lebih bersedia menanggapi tuntutan-tuntutan serangan ideologis kaum Islam radikal dibanding melakukannya untuk melindungi rakyatnya sendiri melawan pemerkosaan massal, pembunuhan demi kehormatan diri, Sunat Perempuan, serangan teroris serta penindasan atas wanita umumnya oleh dewan Shariah (pengadilan Islam).
Juni 2017, kaum teroris radikal kembali beraksi melancarkan serangan. Passca-serangan yang menewaskan tujuh orang itu, Perdana Menteri May di hadapan publikmengatakan bahwa "cukup itu cukup." "Sudah terlalu banyak toleransi kepada ekstremisme," katanya. Di permukaan, tampak bahwa sang perdana menteri sudah mengalami banyak idelogi kaum Islam radikal, ekstremisme dan terorisme di Kerajaan Inggris.
Waduhhh kata-kata itu ternyata hanya kata-kata hampa kosong yang keluar dari kantornya. Segera setelah pernyataan itu disampaikan kepada publik, bendera-bendera Hizbullah dan Hamas secara terbuka dikibarkan di London selama Hari Raya Al Quds, pada tanggal 18 Juni 2017. Pemerintah Inggris bukan saja gagal berusaha menghentikan parade yang terinspirasi oleh Hizbullah, polisi negeri itu malah membantu mereka memberikan keamanan dan perlindungan.
Bukan cuma perdana menteri yang menjadi persoalan. Pasca-serangan bom bunuh diri yang menewaskan 22 orang dan melukai ratusan orang lainnya di depan pintu ruang konser musik, di Manchester, Mei lalu, walikota Andy Burnham memberikan sejumlah nasihat: semua orang perlu "bekerja sama" sehingga "teroris tidak bakal mengalahkan kita." Walikota Burnham juga mengatakan bahwa rencana terbaik adalah "menjalankan hidup sehari-hari". Bagaimana bisa dia tidak katakan bahwa rencana terbaik bukanlah "menjalankan hidup"; tetapi berhenti mengalah kepada keinginan ideologi asing kemudian bertindak dengan membalas sekolah-sekolahnya, antek-anteknya, penyandang dananya, apologetnya serta kelompok-kelompok fron-nya?
Persoalan di Kerajaan Inggris bukan sekedar rasa takut yang dicekokkan dalam lembaga politik oleh berbagai serangan teroris. Berbagai serangan seksual yang terdokumentasi baik memang memperlihatkan ada berbagai gang pelaku pemerkosaan massal menyerang anak-anak Inggris dan ini menjadi gelombang kejahatan penting lain yang menghantam keyakinan Inggris terhadap pemerintah mereka sendiri.
Maret 2018 lalu, upaya untuk menutup kasus lainnya terungkap berkaitan dengan serangkaian perkosaan massal, pembiusan, perdagangan manusia dan pembunuhan di Telford. Laporan tersebut mengidentifikasi bahwa persoalan berawal pada era 1980-an dan teridentifikasi oleh para pekerja sosial pada era 1990-an. Namun baru pada tahun 1996, ada warga setempat berani pergi melaporkan informasi seputar pelaku utama kekerasan penjualan para gadis di bawah umur untuk seks. Polisi, pekerja sosial serta dewan kota menutup-nutupi perlakuan kasar yang luas mewabah itu selama beberapa dekade karena takut disebut "rasis." Para gadis berusia 11 tahun yang terlibat teridentifikasi sebagai "pelacur" seolah-olah anak-anak itu bahkan bisa dikatakan memilih tindakan itu. Jika anggota geng itu "orang Asia" maka catatan kejahatan mereka tidak ditindaklanjuti. Demikianlah, rasa takut dan sikap lalai kriminal dari para polisi yang terlibat.
Lembaga kajian yang bergerak dalam bidang kontra-ekstremisme Quilliam, mengatakan bahwa 85% terdakwa pelaku pemerkosaan massal adalah keturunan Asia Selatan. Tujuh dari 10 terdakwa diyakini keturunan Muslim Pakistan. Pantaslah dicatat bahwa, warga Asia hanya membentuk 7% dari seluruh populasi Kerjaan Inggris.
Kasus perkosaan oleh geng pelaku grooming anak-anak pertama yang penting tampaknya terjadi di Rotherham, Inggris. Laporan Jay mencatat bahwa sekitar 1.400 anak yang sebagian besar kulit putih berusia 11 hingga 14 tahun dibius, diperkosa dan dipaksa terlibat dalam perbudakan seksual kemudian diperdagangkan di seluruh kawasan antara tahun 1997 dan 2013. Para pejabat sipil, dewan kota, polisi dan anggota parlemen kota jelas-jelas menyadari bertahun-tahun perlakuan kejam itu, tetapi memilih tetap diam. Orang-orang yang membicarakannya pun bahkan dibungkam.
Di kota Ingris, Rotherham (populasi kira-kira 258,000 jiwa), sedikitnya ada 1400 anak dilecehkan secara seksual oleh sebuah geng para laki-laki Muslim keturunan Pakistan. (Sumber foto: Wikimedia Commons) |
Sebelumnya pernah dilakukan tiga penyelidikan, dari tahun 2002, 2003 dan 2009. Isu temuannya sama. Tetapi laporan-laporan itu ""efektif ditekan." Kala itu, Menteri Dalam Negeri Inggris Theresa May menjelaskan berbagai kegiatan itu sebagai "pelembagaan sikap benar secara politik." Anggota Parlemen Rotherham, Denis McShane mengatakan bahwa ketika seorang "Penjaga bersikap kekiri-kirian," dia yakin ada budaya yang tidak ingin mengguncang atau mengganggu kapal komunitas multikultural, jika saya boleh katakan seperti itu.
Perkosaan massal merupakan persoalan endemik tetapi tidak terbatas di Rotherham dan Telford. Aksi jahat juga mempengaruhi, antara lain Bristol, Derby, Rochdale, Peterborough, Newcastle, Oxfordshire, Bradford, Keighley, Banbury, Halifax, Leeds, Birmingham, Norwich, Burney, High Wycombe, Dewsbury dan Middlesbrough.
Tautan umum dari semua kasus tersebut adalah geng-geng pelaku grooming itu keturunan Asia Selatan. Selain itu, pihak-pihak berwenang yang bertanggung jawab memilih bungkam karena takut dianggap "menyerang" dengan menampilkan diri sebagai rasis atau "Islamofobia." Jika perkosaan massal terhadap anak-anak gadis desa selama satu dekade itu tidak cukup memaksa sebuah pemerintahan untuk bertindak, maka pertanyaannya, ada apa ini?
Membungkam Perbedaan Pendapat
Sementara itu, ketika laporan seputar skandal perkosaan massal terakhir di Telford tersebar luas, Brittany Pettibone dan Martin Sellner berusaha masuk ke Inggris. Keduanya berencana hendak menghadiri Speaker's Corner di Hyde Park, in London sekaligus mau mewawancarai Tommy Robinson, mantan pemimpin Liga Pertahanan Inggris. Martin Sellner adalah mahasiswa dan aktivis Australia yang terkenal yang memimpin Gerakan Identitarian "kanan baru" (Gerakan politik berbasis ras, negara, dan sejenisnya). Sedangkan Brittany Pettibone adalah orang yang mengklaim diri sebagai "nasionalis Amerika." Meski demikian, keduanya ditolak masuk oleh para pejabat Inggris karena curiga, keduanya "menghasut kebencian dan ketegangan di antara berbagai komunitas lokal."
Cendekiawan Islam kenamaan, Robert Spencer juga dilarang masuk Inggris tahun 2013 silam. Pada saat "Menteri Dalam Negeri Inggris mengaku ulama Muslim Pakistan Syed Muzaffar Shah Qadri juga dilarang masuk. Kotbah Qadri tentang kebencian dan kekerasan oleh pejihad dinilai begitu bergaris keras sehingga dia pun dilarang berkotbah di Pakistan.
Dr. Martin Parsons, ketua divisi penelitian Yayasan Barnabas Fund, yang membantu umat Kristen melarikan diri dari penyiksaan memperlihatkan bahwa Inggris memberikan visa kepada para pemimpin Islam yang menuntut supaya mengeksekusi mati umat Kristen yang dituduh menghujat Agama Islam. Selain itu, para pejabat itu pun rutin memberi suaka kepada anggota senior Persaudaraan Muslim meskipun faktanya mereka berulang kali menghasut lahirnya tindak kekerasan terhadap umat Kristen Koptik Mesir.
Bulan ini, warga Kanada, Lauren Southern juga ditahan. Southern adalah aktivis politik, seorang tokoh yang dikenal luas di internet dengan pemikiran-pemikiran sayap kanannya. Pernah dia mencalonkan diri untuk Partai Libertarian dalam Pemilu federal Kanada tahun 2015 serta bekerja untuk Rebel Media. Pemerintah Inggris menolaknya masuk karena dinilai merupakan ancaman bagi "kepentingan-kepentingan mendasar masyarakat." Lebih jauh lagi, dia teridentifikasi sebagai ancaman terhadap "kebijakan publik Inggris." Dia ditolak masuk berdasarkan legislasi anti-terrorisme (Schedule 7 UUD Terorisme Inggris tahun 2000) walau tidak ada hubungannya dengan terorisme yang diperlihatkan.
Pemerintah Inggris tampaknya tidak mampu menangani berbagai geng pemerkosaan massal di Inggris, namun masih saja sengaja mengijinkan Youssef Zaghba memasuki Inggris, meski dia berada dalam daftar pengawasan keamanan (security watchlist). Pihak berwenang pun sudah peringatkan bahwa dia teroris. Dan memang Zaghba belakangan bergerak maju menjalankan serangan teroris Juni 2017 di London Bridge.
Bagaimanapun, Pemerintah Inggris yang sama yang menghentikan para wartawan dan aktivis memasuki negeri itu karena mereka diduga merupakan ancaman terhadap "kepentingan-kepentingan mendasar masyarakat."
Wanita dan Kuasa
Ironisnya, para wanita yang berada di puncak kekuasaan seperti Perdana Menteri May sekalipun mengalah kepada ancaman pejihad sehingga membantu membungkam kritik yang selanjutnya. Contoh lainnya, Joyce Thacker. Dia Direktur Strategis Jasa Pelayanan Anak-Anak Kota Rotherham dengan gaji £130,000 pertahun (sekitar Rp 2,6 miliar). Selama 5 tahun dia bekerja di lembaga itu, perkosaan dan perdagangan seks atas para gadis remaja berumur 11 - 14 tahun terus berlanjut meningkat cepat. Departemen tersebut bukan saja tidak berbuat apa-apa untuk membantu 1400 gadis yang diperkosa dan dipaksa memasuki dunia pelacuran, dia dan pihak-pihak lain bahkan berusaha khusus untuk membungkam siapa saja yang berusaha berbicara menentang kejahatan itu. Alasan pembungkam paksa selama bertahun-tahun itu teridentifikasi dalam sebuah laporan Pemerintah Inggris sendiri sebagai "pelembagaan sikap benar secara politik". Pantas dicatat bahwa Joyce Thacker, setelah berbagai kasus itu terungkap justru mendapat imbalan £40,000 (sekitar Rp 800 juta) dari otoritas pengelola tenaga kerja ketika dia meninggalkan jabatannya.
Anggota Parlemen wakil Tenaga Kerja Wanita, Naz Shah juga tampaknya mendukung posisi pemerkosa, bukan para gadis korban perkosaan. Dalam sebuah twitnya yang agak mengejutkan, dia mengatakan bahwa gadis-gadis yang dilecehkan di Rotherham dan di tempat lain cukup perlu "menutup mulut demi kebaikan masyarakatnya yang beragam." Bagi dia, ideologi kebhinekaan, keberagaman itu jauh lebih penting dibandingkan dengan pemerkosaan dan penjualan massal para gadis.
Cressida Dick, pimpinan wanita Pasukan Polisi Metropolitan London juga berupaya mengabaikan kasus perkosaan massal atas para gadis. Sikapnya terlihat ketika dia mengatakan, bahwa perkosaan geng telah "menjadi bagian masyarakat kita selama berabad-abad." Persoalan dengan pernyataannya adalah bahwa tidak ada bukti untuk mendukung posisinya.
Selain kaum wanita dalam pemerintahan yang menduduki berbagai jabatan penting (toxic) terkait dengan persoalan perkosaan para gadis, Lily Allan, seorang penyanyi, aktris dan presenter TV Inggris pun tampaknya punya sikap yang sama. Ketika ditanya tentang ide apakah ribuan gadis muda Inggris (antara 11 dan 14 tahun) bisa terhindar dari perkosaan jika para pemerkosa mereka tidak diijinkan berimigrasi ke Inggris dia rmenanggapi, "Sebetulnya, ada kemungkinan besar mereka bakal diperkosa dan dilecehkan oleh orang lain pada suatu saat. Itu persoalannya."
Hancurnya Kebebasan Berbicara
Tuan Walikota London, Sadiq Khan, mengaku bahwa Polisi Metropolitan London sudah benar-benar terlibat dalam upaya memerangi kejahatan karena rasa benci (hate crimes). Pernyataan ini diperkuat oleh Kepolisian Metropolitan London yang mengatakan dalam website mereka bahwa "Sekarang, kami punya lebih dari 900 penyidik khusus kejahatan karena rasa benci yang bekerja di berbagai Unit Keamanan Komunitas yang mencurahkan perhatian untuk penanggulangan kejahatan karena rasa benci di London." Para perwira itu tampaknya menangani persoalan "kejahatan karena kebencian" seperti pada postingan FB serta panggung media sosial lainnya. Padahal persoalannya, London sedang menderita serangan teroris, serangan dengan zat asam, kelompok geng dengan sepeda motor dan semakin banyak jumlah anak-anak muda yang sekarat di tengah semakin banyaknya wabah kejahatan dengan menggunakan pisau. Pertanyaan pun seharusnya diajukan seputar prioritas tindakan di sini dan apakah walikota serta kepolisian Metropolitan London lebih tertarik menangani kejahatan yang sebenarnya atau justru menindas serangan balik yang mereka ciptakan sendiri.
Dua Sistem Hukum Inggris
Sudah menjadi praktek umum bahwa perkawinan di sejumlah masjid di Inggris terdaftar dengan pihak berwenang sipil. Tatkala wanita Muslim yang hidup di Inggris berhadapan dengan soal dukungan terhadap anak, diceraikan oleh suami mereka dan mengalami pemukulan, mereka pun kerapkali menemukan bahwa perkawinan mereka tidak terdaftar secara resmi.
Ketika berupaya memecahkan persoalan itu dengan pihak pengadilan Shariah, para wanita itu justru menemukan bahwa mereka hanya punya beberapa hak asasi sehingga kerap diberi tahu bahwa semua itu salah mereka dan dengan demikian perlu kembali kepada para suami mereka yang kejam dan kasar. Seperti dilaporkan dalam Harian The Telegraph:
"Tatkala Aisha mendekati dewan Shariah di Inggris soal upaya menceraikan suaminya, dia berhadapan dengan berondongan pertanyaan. 'Apa kau mendukungnya?" Demikian dia ditanya lalu ditanya lagi, 'Apakah kau penuhi kebutuhan-kebutuhannya? Mencuci dan membersihkan rumah?' Dia karena itu diminta pulang serta menjadi 'seorang isteri yang lebih baik.' Padahal, suaminya berulang-ulang menyerangnya."
Pengadilan-pengadilan tersebut (baca: Shariah) maksudkan bahwa sistem hukum sebuah ideologi politik asing, dalam hal ini Islam, telah menciptakan sebuah system hukum yang sama dan di dalamnya Hukum Shariah ditempatkan di atas hukum umum Inggris. Diperhitungkan bahwa sekitar 30 sampai 85 pengadilan Shariah tengah beroperasi di Inggris dan Wales saja.
Sunat Perempuan
Para gadis Inggris diajarkan supaya menyembunyikan sendok di bagian depan pakaian dalam mereka jika takut dikapalkan pulang ke Afrika atau Asia Selatan sehingga bakal menderita Sunat Perempuan (FGM) yang dilakukan orangtua mereka. Sendok-sendok memicu metal detector di Bandara sehingga memungkinkan para gadis untuk menjelaskan kepada pihak kemanan Bandara (secara pribadi) mengapa mereka takut pergi keluar negeri.
Ribuan kasus sunat perempuan (FGM) dilaporkan namun sedikit upaya dilakukan atasnya. Sekitar 5.500 kasus sunat perempuan dilaporkan pada tahun 2016 saja, termasuk 1,268 kasus-kasus yang baru saja dicatat sejak Oktober hingga December 2016 dibandingkan dengan 1,240 kasus pada seperempat tahun sebelumnya. Tidak ada kasus yang berhasil diajukan ke pengadilan. Hanya satu kasus berhasil disidangkan di pengadilan, meski praktek itu dilarang selama lebih dari 30 tahun silam. Mengapa Pemerintah Inggris takut menyerang isu seperti itu, jika dilihat bahwa para gadis muda Inggris dimutilasi secara seksual? Pemungutan suara?
Serangan Terhadap Prinsip Dasar Negara
Emanuel Kant meyakini bahwa "keamanan republik merupakan hukum tertinggi" (Salus Rei Publicae Suprema Lex Esto). John Locke memperdebatkannya dengan mengatakan bahwa yang terpenting adalah keamanan masyarakat. Sementara itu, Jean-Jaques Rousseau percaya bahwa tujuan pemerintah adalah kebaikan masyarakat dan bahwa kontak kontrak sosial dipersyaratkan untuk membela sekaligus melindungi kebaikan bersama.
Landasan hukum internasional mengatakan bahwa setiap negara atau negara bangsa berdaulat atas kawasan dan urusan dalam negerinya sendiri sehingga mengabaikan semua kekuasaan eksternal. Negara Wesphalia pun berbasiskan pada dua faktor yang melekat pada sebuah negara berdaulat: mempertahankan kawasan nasionalnya sekaligus mempertahankan penduduknya. Dengan ini, tenu saja, berarti menegakkan sekaligus mempertahankan perbatasan negaranya sembali menjalankan keamanan, sistem polisi dan keadilan yang efektif di dalam negeri.
Kesimpulan
Kala para pemimpin pemerintah dewan kota hingga Parlemen di Westminster lebih suka para gadis mereka sendiri diperkosa massal daripada "menyerang" para pemerkosanya, secara aman dapatlah dikatakan bahwa sikap mengalah yang merusak sudah melanda pemerintah. Kala para gadis dinasehati supaya menyembunyikan sendok dalam pakaian dalam guna menghindari sunat perempuan, maka standar sosial di Inggris pun jelas runtuh. Kala polisi menolak mendata nama-nama terduga pemerkosa karena mereka orang Asia, maka hasil penyidikan kriminal sebetulnya yang tengah ditegakkan bukan oleh hukum tetapi oleh sikap benar secara politik. Ketika terorisme merobek jenasah anak-anak dan para pejabat sipil mengatakan bahwa penduduk kota harus "melanjutkan hidupnya," maka inilah tanda bahwa para politisi tidak lagi memerintah.
Rencana jangka panjang kaum Islam radikal, pimpinan berbagai organisasi seperti Persaudaraan Muslim, tampaknya mulai berbuah. Repotnya, laporan lengkap itu ditutupi rapat-rapat dan disimpan begitu saja sehingga tidak diketahui oleh public.
Pemerintah Inggris tampaknya sadari adanya berbagai isu ini. Itu terlihat ketika penyelidikannya sendiri atas kelompok Persaudaraan Muslim memperlihatkan banyak hal. Theresa May sendiri adalah menteri dalam negeri tatkala laporan ini dikeluarkan.
Pernyataan Perdana Menteri David Cameron pada tahun 2014 seputar itu adalah sebagai berikut:
"Aspek ideologi serta aktivitas Persaudaraan Muslim itu menyerang nilai-nilai demokrasi Inggris, pemerintahan berdasarkan hukum, kebebasan individu, persamaan derajat dan saling menghargai serta toleransi atas agama dan kepercayaan.Teks-teks dasar Persaudaraan Muslim menyerukan pembersihan moral individu dan masyarakat Muslim secara progresif dan akhirnya persatuan politis mereka di tangan seorang Kalifah berdasarkan Hukum Shariah. Sampai sekarang Persaudaraan Muslim mengkategorikan masyarakat Barat serta kaum Muslim liberal sebagai kaum yang dekaden sekaligus tidak bermoral. Hal ini pertama-tama dapat dilihat sebagai suatu proyek politik (penekanan diberikan oleh pengarangnya).
Persaudaraan Muslim tidak berupaya menyembunyikan tujuan mereka. Yusuf Qaradawi, yang teridentifikasi sebagai ulama Persaudaraan Muslim kenamaan pemberi inspirasi membuatnya jelas, ketika menyatakan:
"Ini berarti Islam bakal kembali ke Eropa untuk ketiga kalinya, setelah dua kali terusir dari sana...Penaklukan melalui dakwah, itulah yang kita harapkan. Akan kita taklukan Eropa. Akan kita taklukan Amerika! Bukan dengan pedang tetapi dengan dakwah."
Masuk akal mengatakan bahwa dekade panjang serangan atas Pemerintah Inggris oleh ideologi Islam radikal agaknya sudah punya pijakan. Hal itu terbukti tatkala Theresa May, Perdana Menteri dan mantan Menteri Dalam Negeri Inggris, tidak menempuh langkah-langkah mendasar untuk melawan setiap serangan ideologis mapun fisik ini. Sedikit sekali tindakan diambil untuk melawan proxy atau antek-anteknya, lembaga-lembaga amal dan para penggalang dana serta kelompok garis depan Persaudaran Muslim, meskipun mereka luas dikenal bahkan sudah diidentifikasi sangat baik oleh pemerintahan lain supaya bisa dinilai.
Dan ketika Westminster atau pusat kekuasaan Inggris itu takluk, maka dorongan untuk menurunkan status Kerajaan Inggris menjadi penguasa lokal kolonial tampaknya sedang terjadi.
Tom Quiggin adalah mantan perwira intelijen milier, mantan kontraktor intelijen untuk Royal Canadian Mounted Police serta pakar terorisme para pejihad yang ditunjuk oleh pengadilan di Pengadilan Federal dan Pengadilan Kriminak Kanada. Sebagian besar bahan artikeil ini diambil dari buku yang baru saja terbit, "SUBMISSION: The Danger of Political Islam to Canada – With a Warning to America",yang dituliskan bersama dengan Tahir Gora, Saied Shoaaib, Jonathan Cotler serta Rick Gill dengan kata pengantar buku oleh Raheel Raza.